Ilaa hadraatinaa wa syafii’inaa wa habiibinaa wa maulaanaa, salaam alaika
“Indonesia berada dalam status darurat kekerasan terhadap anak”. Betapa tidak, beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan adanya tragedi kekerasan seksual disertai pembunuhan seorang remaja putri di daerah Rojong Lebong, Bengkulu. Korban bernama Yuyun diperkosa oleh 14 pemuda yang sedang pesta miras. Yuyun lalu dibunuh dan jasadnya secara keji dibuang ke jurang. Menyusul kasus Yuyun, kekerasan seksual juga terjadi di Manado, Lampung dan Garut. Di Manado, seorang perempuan dilaporkan mengalami pemerkosaan massal oleh 19 orang. Korban mengalami trauma berat. Di Lampung, seorang bocah perempuan ditemukan tewas di sebuah gubug pematang sawah. Ia diduga menjadi korban pemerkosaan sebelum dibunuh. Pelaku yang diduga dua orang lelaki sampai kini belum ditemukan. Di Garut seorang siswi SMA kelas X diperkosa oleh empat orang pemuda kawannya. Banyak pihak menyebut, negeri ini ada dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), menyebutkan bahwa kasus kekerasan anak selama lima tahun terakhir menunjukan peningkatan. Merujuk rilis akhir tahun Komnas PA, ada 21.689.987 aduan pelanggaran hak anak yang tersebar di 33 provinsi dan 202 kabupaten/kota, selama lima tahun terakhir. Dari angka itu, 58 persen di antaranya adalah kejahatan seksual. “Angka pengaduan pelanggaran hak anak yang terus meningkat adalah salah satu parameter di mana ‘Indonesia Darurat Kekerasan Terhadap Anak.’ Secara khusus kejahatan seksual terus meningkat” kata Sekretaris Jenderal Komnas PA, Samsul Ridwan, dikutip AntaraNews, Selasa (22/12/2015). Di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) saja, pada tahun 2015, Komnas PA mencatat ada 2.898 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 59 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka itu meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013 tercatat 2.676 kasus, 54 persen didominasi kejahatan seksual. Pada 2014 sebanyak 2.737 kasus, dengan 52 persen kekerasan seksual. Di samping itu, hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual sejauh ini tidak membuat efek jera, seperti kasus pelecehan seksual oleh artis Saiful Jamil yang hanya divonis 3 tahun penjara saja.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) kekerasan seksual terhadap anak. Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak ditandatangani presiden menyusul sejumlah kasus tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak belakangan ini. Hukuman tambahan -antara lain dikebiri- akan diberikan kepada pelaku tertentu. Perpu ini dimaksudkan untuk kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan.
Bagaimana pandangan Islam dalam menyikapi masalah kekerasan seksual pada anak, apakah sudah cukup yang dilakukan oleh pemerintah saat ini?
Definisi Anak yang Salah Kaprah
Seringkali kita terjebak dengan pandangan yang salah akan “status anak” dalam menyikapi tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), pasal 1 UU PA disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Berangkat dari definisi inilah kemudian dibuat peraturan-peraturan yang mengatur akan segala aktivitas terkait anak termasuk sangsi jika mereka melakukan aktivitas kejahatan. Seperti kasus kejahatan seksual yang menimpa Yuyun di Bengkulu, dll; di mana pelakunya rata-rata berusia antara 14 – 17 tahun, maka dalam hal ini pelaku masih dikategorikan sebagai anak-anak. Sehingga hukumannya pun tidak mencerminkan rasa keadilan. Bahkan rencana penerapan hukum kebiri ini pun banyak menuai pro dan kontra.
Komnas Perempuan menolak hukuman kebiri untuk pedofilia, karena sebagian dari pelanggaran HAM. Jika efek jera yang dicari maka dapat dilakukan dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku pada saat ini. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp 60.000.000 – Rp. 300.000.000. Pakar seksologi dr. Boyke Dian Nugraha menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidaklah efektif. Alasannya, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati.
Berbeda dengan Islam, batasan penerapan hukum dalam Islam adalah status “belum baligh” atau “baligh”. Ukuran seseorang itu dianggap baligh atau belum bukan umur, akan tetapi ditandai dengan perubahan fisik yaitu dengan tumbuhnya bulu di kemaluan atau hal lainnya yaitu mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Tapi statusnya menjadi baligh (dewasa) yang akan terkena beban hukum. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memikul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan pernikahan, maka hal itu tidak boleh dilarang. Jadi jika ada seseorang yang sudah bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya sudah jelas bisa dikatakan “sudah baligh” meskipun umurnya baru 14 tahun atau bahkan 12 tahun.
Beban hukum dalam Islam, hanya diperuntukkan bagi 3 pihak yaitu orang-orang yang sudah baligh (dewasa), sehat akalnya (tidak gila) dan tidak dalam kondisi lupa. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits : “Diangkat pena dari tiga golongan, anak-anak sampai baligh, orang gila sampai sembuh dan orang lupa sampai ingat”. (HR. Imam Bukhari). Sehingga jika ada kasus seperti yang menimpa Yuyun di Bengkulu, dll; maka cara penanganan dalam Islam adalah pihak tertuduh (anak-anak) yang melakukan kejahatan dibawa ke pengadilan untuk dilakukan pengecekan apakah yang bersangkutan sudah baligh atau belum. Jika diketahui dan sudah dipastikan mereka sudah baligh maka sudah bisa dikenakan sangsi hukum. Jadi bukan cuma dilihat umurnya saja. Jika memang pelakunya sudah baligh maka ini bukan lagi murni “kenakalan anak-anak” tapi sudah menjadi “kejahatan”. Dan harus dijatuhi hukuman yang setimpal melalui proses peradilan. Bagi pelaku kejahatan seksual seperti kasus Yuyun yang kemudian sampai meninggal, kalau ternyata terbukti para pelaku sudah baligh (dewasa) maka hukumannya hadd zina yaitu jika pelakunya belum menikah maka hadd berupa “jilid” atau cambuk 100x, tapi kalau pelakunya sudah menikah maka hukumannya adalah hadd berupa “rajam”. Jika kemudian pemerkosaan tersebut menimbulkan kematian, maka hukuman ditambah dengan ta’zir semisal dikebiri, atau bahkan lebih berat lagi disalip atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.
Akibat Buruk dari “Prostitusi”
Kejahatan seksual yang terjadi saat ini, sebenarnya merupakan efek dari aktivitas lainnya yang terkesan tidak ada tindakan tegas dari pihak pemerintah, yaitu pornografi. Menurut data yang dipublikasikan KPAI, sejak tahun 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai jumlah 1.022 anak. Secara rinci dipaparkan, anak-anak yang menjadi korban pornografi online sebesar 28%, pornografi anak online 21%, prostitusi anak online 20%, objek CD porno 15% serta anak korban kekerasan seksual online 11%. Dan yang lebih hebatnya lagi ternyata potensi pasar yang bisa dihasilkan oleh kegiatan prostitusi begitu besar. Menurut data disebuah situs yang merilis informasi mengenai aktivitas pasar gelap dunia, Global Black Market Information, Havoscope, menyebut secara global pendapatan prostitusi mencapai US$ 186 miliar, atau jika dikonversi ke rupiah mencapai Rp 2.501,7 triliun.
Dengan begitu besarnya potensi pendapatan dari bidang prostitusi ini, wajar jika banyak pihak dengan segala cara mempertahankan bisnis haramnya ini. Semestinya jika pemerintah bisa lebih tegas lagi dalam mengatasi kejahatan seksual ini, maka jangan hanya fokus pada peradilan pelaku-pelaku kriminal ini, tapi juga terhadap pihak-pihak yang memang dengan sengaja menyebarluaskan bisnis haram ini sehingga bisa mempengaruhi tingkah laku orang lain untuk melakukan kejahatan seksual, dengan hukuman ta’zir yang berat. Semisal dihukum penjara seumur hidup, atau kalau memang pengaruhnya sudah luar biasa maka bisa dihukum mati.
Pemerintah harus paham, bahwa kegiatan seksual bukanlah lahan komersil. Dalam Islam yang bisa diperdagangkan adalah barang dan jasa. Maka seperti kegiatan seks, cinta, janji itu bukanlah termasuk barang dan jasa, sehingga haram untuk diperjual-belikan. Semestinya negara memahami hal ini, sehingga bisa memberikan hukuman yang memberikan efek jera kepada pelakunya.
Islam Mampu Memberikan Solusi
Allah Swt berfirman: Dan bagi kalian dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (QS. Al Baqarah : 179). Islam sebagai peraturan hidup yang paripurna, telah memberikan solusi dari segala permasalahan hidup akibat dari perbuatan manusia di dalam kehidupan ini. Seperti hukuman tegas yang diberlakukan untuk para pelaku tindakan kriminal. Oleh karena itu, hukum Islam jika diterapkan akan berfungsi sebagai “pencegah” dan “penebus dosa”. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari ‘azab Allah Swt di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa.
Sedangkan sebagai “penebus”, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Ubadah bin Shamit RA menyebutkan: “Dalam peristiwa Bai‘at ‘Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sangsi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya.” Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu.
Untuk itu sudah selayaknya umat Islam kembali pada peraturan hidup yang benar yaitu Islam. Tidak usah repot-repot membuat aturan untuk membuat para pelaku kriminal jera, Islam sudah sangat baik mengatur hal tersebut. Wallahu a’lamu bishawab.